Agustus 01, 2011

Where Passion Is Not Just A Fruit

31 Juli tengah malam, sampai 1 Agustus subuh. Yea right. Sebanyak itu yang pengen ditulis, sesedikit itu waktu buat menulis. Tapi daripada tidak sama skali. :P Tampaknya beberapa postingan gue yang lalu, yang sekarang, dan yang akan datang mungkin akan berbau sedikit kegalauan. Lo ngertilah bau galau kayak apa. Hahaha. Tapi tenang, segala hal yang galau di blog gue, harus tetap solutif! Galau itu gakpapa, kalo endingnya adalah pemikiran brilian yang bisa mengubah jagad raya. Gue yakin dulu Thomas Alpha Edison pasti galau mikirin dunia dia yang (literally) gelap. Tapi dia tidak berhenti sampai galau saja, melainkan dia berjuang mengatasi kegalauannya, dan terciptalah lampu! Hore! Begitulah seharusnya kita menghadapi kegalauan. Jadi, mari kita mulai cerita galau kali ini.

Suatu hari di jam istirahat kerja, gue dan dua orang teman kantor gue terjebak dalam sebuah pembicaraan serius. Lebih tepatnya menjebakkan diri dalam perbincangan serius. Lo taulah, jenis-jenis perbincangan yang dimulai dengan bahasan ringan dan santai lalu tiba-tiba salah satu dari peserta perbincangan tersebut melontarkan hal yang agak serius tapi kita tetap aja mau bahas karena sebenernya topiknya menarik. Kayak gitu. Nah, ada nih temen gue yang pada saat itu lagi ngobrol-ngobrol sama gue lalu dia menceritakan rencana-rencana hidup dia ke depannya, dan bahwa sebenernya dia udah merencanakan hidup dia per 5 tahun. Gini maksudnya, temen gue sejak umur 21 (kalo gak salah) udah memplan hidupnya buat 5 tahun ke depan, lalu 5 tahun berikutnya, lalu 5 tahun berikutnya, daaan seterusnya. Jadi dia udah tau tuh, dari umur 21-25 dia harus achieve apa aja dalam hidupnya. Begitu juga waktu dia umur 26-30, 30-35, de es te… Misal, di range 21-25 dia harus udah lulus S1 di dalam negeri dan S2 di luar negeri. Saat 26 tahun, harus dapet kerja di perusahaan multinational. 28 nikah, 29 punya anak, dan saat umur 30-35 dia harus udah jadi manager. Dengan punya life plan macam gitu, mereka jadi tau dalam umur berapa mereka harus berbuat apa untuk mendapatkan apa. Gitulah kurang lebih.

Lo punya gak life plan kayak gitu? Gue nggak. :| Itu  yang jadi bibit kegalauan gue. I mean, maaan…gue secuek itu apa sama hidup gue? Masa gue bener-bener telen bulet-bulet pepatah go with the flow. Atau emang bahasa Inggris gue gak cukup buat ngerti arti pepatah itu? Sumpa segalau itu. Hidup mereka bener-bener ada tujuan yang jelas. Tiba-tiba tujuan hidup gue terkesan shallow setelah gue denger life plan mereka. Life plan, menurut versi gue, adalah kaya, banyak duit, sehat walafiat lahir batin, rumah gede tepi pantai, nikah, istri cantik, punya anak 2, lalu gue bahagia, SELESAI. Gue pernah tanya temen gue yang lain, apakah mereka punya life plan kayak gitu. Ternyata punya -___-“ Beda-beda sih, ada yang 3 tahunan, ada yang 1 tahunan. Tapi kan punyaaa… Rasanya tuh kayak anak kecil yang semua temennya punya spatu yang ada lampunya bisa nyala kalo jalan, terus gue nggak punya. Sediiih :(

Lalu gue berpikir, kalo misalnya mau buat life plan kayak gitu, berarti gue harus tau dong gue maunya apa. Kalo gue udah tau apa yang gue mau kan berarti gampang buat gue menentukan apa aja yang harus gue lakukan untuk mencapai “yang gue mau” itu. Soalnya temen-temen gue itu jelas, misalnya, si X tujuannya adalah menjadi top manager di perusahaan multinational, maka dia harus melakukan a b c d e f g h i saaaampe z untuk mencapai tujuannya itu. Oke, sekarang pertanyaan dasar buat gue membuat life plan gue sudah jelas: “Gue maunya apa?” Hmm, kan udah gue bilang gue maunya kaya, banyak duit, sehat, istri cantik, de el el de el el… Berarti pertanyaan berikutnya adalah “Gue harus jadi apa biar dapet yang gue mau?” Banyak sih caranya. Gue bisa aja jadi paranormal meskipun boong-boongan. Atau mungkin jadi dancernya Agnes Monica, supaya diajak ke Amrik buat go international (kalo gak jago cukup daftar jadi penonton acara musik pagi-pagi di TV, mayanlah dibayar).  Atau gue cukup tuntut S*ipul Jameel (dengan ejaan nama dia yang baru, yang entah gue nulisnya bener apa nggak) Rp 5 milyar atas pencemaran laut Ancol dengan ritual buang celana dalam yang dia lakukan waktu itu. Kaya deh gue. Tapi kan gak mungkin gue melakukan hal-hal itu. Well, mungkin sih, tapi otak gue masih lurus untuk mencari cara yang lebih genah untuk mencapai “yang gue mau”. Nah paragraf berikut adalah gue yang sedang ngomong sama diri gue sendiri. Silahkan menyimak.
Jadi, gue harus jadi apa buat mencapai “yang gue mau”? Sekarang sih gue lagi jadi pegawai kantoran. Hmmm… Bisakah mencapai “yang gue mau” dengan menjadi pegawai kantoran. Bisa. Bisa banget. Kalo gue punya performance yang baik, karir gue akan naik terus sampe jadi boss. Oke, kalo gitu gue jadi pegawai kantoran aja terus! Eh tapi bentar. Mencapai “yang gue mau” itu kan proses, butuh waktu nih. Pasti gak sebentar. Berarti gue harus enjoy dong selama proses ini! Gue enjoy gak ya? Hmm, so far biasa aja. Kayaknya gue pernah ngerasain kerjaan yang bikin gue lebih enjoy sampe lupa waktu saking passionatenya gue sama kerjaan itu. Passionate gak ya gue dengan kerjaan gue skarang? Eh. Nah itu dia!! Passion, man! PASSION!!

Argghhh! Satu kata itu benar-benar menghantui gue banget! Gue langsung sadar sesadar-sadarnya kalo life plan temen-temen gue itu lebih berdasarkan passion mereka. Kaya, banyak duit, sehat, istri cantik, dan semuanya itu memang bisa didapat dengan cara apapun yang kita pilih. TAPI, mendapatkan hal-hal tersebut dengan bekerja sesuai passion lo pasti lebih enak kan! Ini tuh kayak disuruh gambar pemandangan alam sama guru TK lo. Pasti pada gambar dua gunung dengan matahari di tengah, sawah di bawah kaki gunung sebelah kanan, rumah dan pohon di kaki gunung sebelah kiri, membelah keduanya ada sebuah jalan menciut ke atas seolah menuju si matahari, tidak lupa beberapa awan, dan burung-burung terbang yang lebih mirip logo McD penyok. Kenapaaa???!! Meminjam istilah Ridwan Kamil, kenapa harus mengikuti template nasional tersebut??! Kenapaaa?!? Pleaseee kasih tau gue kenapaaa.. Apa karna dengan begitu akan lebih mudah buat kita dapet A atau 90? Kalo gue gambar air terjun dengan indahnya, seindah lukisan Antonio Blanco, gue dapet A gak? Kan temanya pemandangan alam. Boleh dong.  Ini nih masalahnya! Gue tuh anaknya sebenernya gak mau mengikuti template nasional tersebut.

Contoh template nasional lainnya? Skolah-kuliah-jadi pegawai di perusahaan bagus-S2-nikah-punya anak-pensiun. Jadi pegawai memang mungkin lebih memberi lo secure feelings atau rasa aman karna penghasilan lo tiap bulannya itu jelas, bahkan mungkin bisa lo itung dengan pasti sampe lo pensiun nanti. Dan gak ada salahnya juga kalo kerja menjadi pegawai di perusahaan adalah memang passion lo. Temen gue yang tadi passionnya memang itu, dan dia gak salah. Kalau memang dia suka dari dalam hati untuk menggambar pemandangan alam yang dua gunung dengan matahari di tengah itu, ya gakpapa. Emang itu yang dia mau. Tapi gue lebih suka gambar air terjun. Yang penting sama-sama pemandangan alam kan? Mungkin kita akan lebih merasa aman menggambar dengan template nasional seperti itu, karena kemungkinan guru kita memberi nilai A lebih besar. Tapi kemungkinan kita untuk mendapat A seharusnya juga sama besarnya kalo kita gambar pemandangan air terjun.

Begitu juga dengan pekerjaan. Pegawai kantoran bukan template hidup yang gue mau sampai selamanya. There, I said it. Gue juga dulu ngikutin si template nasional pemandangan alam itu kok. Yang penting gue jadi tau gimana sih gambar pemandangan yang kayak gitu. Ya buat pengalaman aja. How if my boss or people from my HR department read this? Ya gakpapa. Gue gak dosa kok. Dan gue gak melanggar apa-apa. Gue tetap akan do my best di pekerjaan gue yang sekarang. Skali lagi: my best di pekerjaan gue yang sekarang. Which can mean I can do better at other thing. Tapi gakpapa kan? Yang penting sekarang gue professional menjalani kontrak, and do my best di hal yang gue kerjakan skarang. Toh, I don’t HATE my job. I may not love it like I love music, food, or fashion, but I don’t hate it. :) Fair enough, I guess. :)

Bukan cuma sekali kita denger orang sukses yang berhasil meraih “dream”nya dengan menjalankan “passion”nya. So, what’s my passion? Just like my Twitter’s bio: in love with music, food, and fashion. Oh, I guess I have to add one more thing: talking. Talking here for me includes writing, because I write the way I talk. Jadi gue mau jadi apa untuk mencapai “yang gue mau”? Hmm, can’t really say it here. But you might’ve got the clue. ;) Intinya gue mau punya bisnis sukses suatu saat nanti. Gue sudah bisa mulai membuat yearly-life-plan seperti temen-temen gue. Lalu apakah tidak menjadi pegawai itu penghasilannya gak jelas dan gak bisa bikin lo merasa secured? Gak juga. Semua tergantung kitanya sendiri. Lagian, gue udah disekolahin bisnis manajemen sama ortu gue. Gue punya skill itu. Harusnya gue gak perlu khawatir untuk secure feelings. Gue percaya semuanya tergantung sama seberapa besar kita bekerja, dan seberapa banyak kita berdoa. Hmm, sebenernya tulisan ini masih bisa dikembangkan lagi. Mungkin lain waktu, karna ini udah panjang banget, dan ini udah jam 3 pagi. Haha. Still, there may be a part two of this. ;)

Remember guys (well actually I’m reminding myself too), we are living in a world where “passion” is not just a fruit. :)





rtd.